
JAKARTA - Untuk kali pertama dalam sejarah republik, Golkar seret jodoh. Koalisi yang digalang DPP Partai Golkar gagal memperoleh sambutan dari PDI Perjuangan, Partai Gerindra, maupun Partai Hanura karena mereka bersikukuh mengusung capres sendiri.
Karena itu, rapat konsultasi DPD-DPD I dan DPP Partai Golkar Ahad malam menganulir keputusan Rapimnasus yang mengusung Jusuf Kalla sebagai calon presiden. Bila negosiasi mentok, Jusuf Kalla diberi mandat untuk menurunkan penawaran dari posisi calon presiden menjadi calon wakil presiden.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono menuturkan, rapat konsultasi memutuskan butir pertama keputusan Rapimnasus dipertahankan, yakni mengusung Jusuf Kalla sebagai calon presiden. Namun, butir kedua rekomendasi Rapimnasus diubah menjadi memberi mandat kepada ketua umum untuk melakukan negosiasi dan komunikasi dengan parpol lain, baik untuk posisi capres atau cawapres.
"Sudah ada titik perubahan, di mana “memberi mandat” itu maknanya berbeda dengan “telah memutuskan”. Jadi, mandatnya adalah untuk melakukan komunikasi politik dengan parpol-parpol, baik untuk posisi capres atau cawapres, dan bisa untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain," ujar Agung di gedung DPR kemarin (27/4).
Dengan perubahan mandat ini, kata Agung, Golkar membuka kembali pintu komunikasi dengan Partai Demokrat yang tertutup sejak hasil Rapimnas diumumkan. "Kalau kemarin sehabis Rapimnassus, sepertinya tidak ada lagi pintu untuk berkomunikasi dengan Demokrat, sekarang sudah lebih jelas bahwa peluang-peluang Golkar untuk berkomunikasi dengan Demokrat, seperti halnya terhadap partai-partai lain, masih dibuka," kata Agung.
Ketua Bidang Hukum dan Otonomi Daerah DPP Partai Golkar Muladi mengakui Golkar untuk kali pertama dalam sejarah mengalami seret jodoh. "Dalam sejarah, baru kali ini Partai Golkar yang merupakan partai besar tretekan (susah payah) mencari-cari mitra untuk berkoalisi," ujar Muladi di gedung Lemhanas kemarin.
Pendekatan yang dilakukan pada Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, dan Prabowo Subianto tidak membuahkan hasil. Meski kalah perolehan suara, mereka masih ngotot mengajukan calon presiden sendiri. Dukungan hanya diberikan Wiranto, namun suara Hanura tidak mampu mencapai syarat mengusung capres-cawapres, yakni 25 persen suara atau 20 persen kursi. "Komunikasi dengan partai lain belum ada hasil signifikan, karena Golkar terlambat masuk dalam dunia persilatan (penjajagan koalisi pemilu presiden)," papar Muladi.
Karena itu, DPP Partai Golkar kini akan kembali berkomunikasi dengan Partai Demokrat yang dalam Rapimnas Minggu lalu belum menetapkan calon wakil presiden. Artinya, SBY masih membuka pintu koalisi bagi Golkar. Apalagi, SBY di Rapimnas mengumumkan menerima 19 usulan calon wakil presiden dari partai koalisi. "Itu sinyal. Maka Pak JK harus melakukan pendekatan empat mata dengan SBY secara intensif. Korbankan dulu prestise, harga diri," ujarnya
Muladi meyakini Golkar terlalu cepat memutuskan komunikasi politik dengan Demokrat. Pasalnya, SBY diyakininya tidak sepenuhnya menolak Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden. SBY dinilainya hanya membutuhkan penjelasan dari tentang deklarasi Jusuf Kalla sebagai calon presiden.
"Harus ada tata krama Jawa yang harus dipenuhi. Sifatnya sangat pribadi, sehingga yang bisa menyelesaikan hanya mereka berdua. Kalau culture gap itu bisa diselesaikan secara budaya dan adat, saya yakin peluang Pak JK kembali menjadi cawapres SBY akan terbuka," papar Muladi.
Muladi meminta Jusuf Kalla meniru reaksi Partai Demokrat dan SBY dalam mengklarifikasi pernyataan Ketua DPP Demokrat Ahmad Mubarok yang dinilai merendahkan Golkar. Ketika itu SBY meminta maaf, menyatakan Golkar sebagai saudara tua, dan menegaskan pernyataan Mubarok bukan sikap resmi Partai Demokrat.
Bila Jusuf Kalla tidak bisa menghilangkan hambatan budaya sirri (pantang mengakui kekalahan) khas Bugis, Muladi menilai waktunya bagi Jusuf Kalla untuk menyatakan mundur dari calon presiden Partai Golkar dan mempersilakan kader Golkar lain menjadi calon wakil presiden SBY.
"Kalau memang hambatan kultur karena persoalan harga diri itu tidak bisa diselesaikan, lebih baik Jusuf Kalla jadi king maker saja dan mengirim beberapa nama kader Golkar menjadi cawapres SBY," kata Muladi
Golkar, kata Muladi, saat ini juga mempunyai banyak kader yang kompeten dan mampu untuk jadi cawapres pendamping SBY. "Seperti Aburizal Bakrie, Agung Laksono, dan Sultan Hamengku Buwono X," ujar dia.
Bila hal itu dilakukan, Muladi yakin nama Jusuf Kalla akan harum dan akan tetap dihormati karena mewariskan Golkar sebagai partai pemerintah, bukan partai oposisi. “Tidak ada yang salah dengan oposisi dalam demokrasi, namun pada praktiknya, ada partai yang lima tahun tidak dapat apa-apa, hanya protes-protes saja. Bagaimana Golkar mau beroposisi kalau kadernya banyak yang jadi gubernur dan bupati,” katanya.
Muladi berharap Jusuf Kalla bersikap rendah hari sehingga bisa kembali menjadi cawapres mendampingi SBY. Dengan demikian ada kepastian keberlanjutan program, yang juga akan ditanggapi positif oleh investor asing. “Kata Pak Habibie, Indonesia butuh ketidakpastian di dalam negeri agar bisa menghadapi ketidakpastian di dunia internasional,” pungkasnya. (noe)